Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Kelemahan Kewenangan Pelaksana Tugas dalam Melakukan Mutasi Pejabat Daerah

Istilah Pelaksana tugas (Plt) sering terdengar dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Istilah ini kerap dipakai ketika terjadi kekosongan jabatan struktural tertentu, namun bagaimana sebenarnya kedudukan Plt secara hukum? Istilah dari Plt dapat kita temui di dalam Undang-Undang No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun, undang-undang ini tidak memberikan pengertian khusus terhadap frasa tersebut. Pasal 34 ayat 2 UUAP menyatakan[1]:

“Apabila pejabat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas”.

Dalam berbagai beleid yang pernah terbit di negeri ini, seorang pelaksana tugas di instansi pemerintahan memiliki wewenang yang terbatas. Artinya, ia tak memiliki wewenang yang sama dengan jabatan yang diembannya untuk sementara. Ada aturan-aturan yang membatasi itu.[2]  Namun terjadi problema yang mendasar mengenai wewenang pejabat definitive dan pelaksana tugas terutama dalam melakukan pemutasian pejabat daerah. Pertama, kewenagan Plt dalam melakukan mutasi pejabat daerah tidaklah selaras dengan peraturan tertulis yang termaktub dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan penolakan terhadap mosi kali ini didasari oleh Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara tahun 2016 tentang kewenangan PLH dan PLT dalam aspek kepegawaian (SKBKN 26/2016), yang menegaskan bahwasannya plh atau plt tidak berwenang mengambil keputusan dana tau tindakan yang bersifat strategis yang bedampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. yang dimaksud dengan “keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis” artinya keputusan dan/atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. “Perubahan  status hukum organisasi” adalah melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai. Hal ini juga diperkuat oleh pasal 132a ayat 1 huruf a. Karena sifatnya yang hanya sebagai pejabat sementara, otomatis Plt tidak mempunyai kewenangan yang sama layaknya pejabat definitif . Plt atau pelaksana tuga stidak berwenang megambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan DP-3, penetaspan surat keputusan, penjatuhan hukuman disiplim, dan sebagainya. Adapun kewenangan plh dan plt dalam SKBKN tahun 2016 adalah:

  1. Menetapkan sasaran kera pegawai dan penilaian pretasi kerja
  2. Menetapkan kenaikan gaji berkala
  3. Mentapkan cuti diluar CLTN
  4. Menetapkan tugas penugasan pegawai
  5. Menyampaikan usul mutase kepegawaian kecuai perpindahan antar instansi
  6. Memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi, dan izin tidak masuk kerja.

Terkait pembatasan ini, kewenangan atas pengambilan segala bentuk keputusan terutama dalam hal tertentu yang bersifat strategis diserahkan pada atasan atau bawahan langsungnya sesuai kewenangan atasan atau bawahan yang dimaksud. Kedua, kewenangan pelaksana tugas dalam melakukan mutasi pejabat daerah dikaitkan dengan alasan politik, mengingat politik dan pemerintahan adalah hal yang sangat krusial dan mengikat. Robson merumuskan bahwasannya politik adalah sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, memengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.[3]  krtidaksetujusn pada isu kewenangan Plt dalam melakukan mutasi pejabat daerah jika dikaitkan dengan aspek politik maka akan berindikasi pada dampak yang negative. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan bahwasannya tak jarang pejabat pemerintahan melakukan tindakan atau membuat kebijakan yang bertujuan dan berorientasi pada kepentingan beberapa golongan semata. Terlebih jika subjek yang melakukan tindakan atau membuat kebijakan tersebut adalah subjek yang secara temporer menjabat atau hanya dalam kurun waktu tertentu, seperti halnya pelaksana tugas. Tempo jabatan dan tindakan pemerintah yang dilakukan jika hal tersebut tejadi sangatlah tidak tepat karena dengan kurun waktu jabatan yang singkat, seorang plt tidaklah berwenang membuat keputusan yang bersifat strategis, terutama dalam hal memutasi pejabat daerah. Karena jika dikaitkan dengan alasan politis, pemutasian pejabat daerah oleh pelaksana tugas membuka peluang yang besar terhadap kemungkinan subjektif atas pejabat yang akan dimutasi. Bukan hanya itu, pemutasian oleh plt juga berindikasi bukan secara murni karena kepentingan kenegaraan melainkan terdapat unsur politik dalam komposisi pertimbangan mutasi pejabat. Karena pada dasarnya, dalam proses politik, berbagai kelompok dan individu dengan menggunakan sarana kekuasaan yang dimiliki berupaya keras memperjuangankan aspirasi dan kepentingannya kepada pemerintah sehinggan menjadi bagian dari keputusan politik.[4]

Dari sisi demokratis, Plt juga dianggap tidak berhak jika diizinkan atau diberi kewenangan untuk memutasi pejabat daerah mengingat Plt tidak dipilih secara demokratis oleh rakyat melainkan hanya dilihat dari beberapa kualifikasi saja sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 98/PMK.01/2015 tentang Tata Cara Penunjukan atau Pengangkatan Pelaksana Tugas dan Penunjukan Pelaksana Harian di Lingkungan Kementerian Keuangan (PMK 98). Dengan tidak dipilihnya Plt secara demokratis, maka rasa akan mengutamakan kepentingan rakyat sangatlah minim dan akan berimplikasi kepada self-interest daripada Plt itu sendiri, terlebih jika Plt tersebut diberi atau diizinkan dalam melakukan mutasi pejabat daerah. Lain hal dengan pejabat definitive yang merepresentasikan hak-hak dan suara rakyat sehingga akan berdampak kepada bagaimana pejabat definitive harus dan dapat bertanggung jawab dalam menampung dan mewadahi kepentingan dan suara rakyat serta mampu membuat kebijakan dan melakukan tindakan yang berorientasi pada urusan kenegaraan. Perihal Plt tidak berhak dalam melakukan mutasi pejabat daerah diperkuat dengan fakta dilapangan seperti yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Dalam praktik, keputusan Plt memutasi pegawai sudah sering digugat ke pengadilan. Misalnya, pernah terjadi di Gresik Jawa Timur dan Pinrang Sulawesi Selatan. Salah satu yang bisa dirujuk adalah putusan PTUN Surabaya No. 58/G/2009/PTUN.SBY. Majelis hakim dalam putusan ini (Singgih Wahyudi, Indaryadi, Suzana) memuat pertimbangan tentang wewenang seorang Plt Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Lumajang. Majelis menyatakan: “Oleh karena objek sengketa diterbitkan oleh pejabat yang tidak berwenang (yakni seorang Plt—redmaka keputusan tersebut menurut hukum dianggap tidak pernah ada.

 

 

 

 

Sumber Referensi:

[1] UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

[2] Wan Ulfah, “Bahasa Hukum: Pelaksana Harian, Pelaksana Tugas, dan Pejabat”, Tirto, 27 Oktober 2016

[3] Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 7.

[4] Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 23.

Presentrasi ICT_Biosfer

BIOSFER

Monica

Finding Monica

will be posted soon!

2nd and 3rd Exam